1. Charles Sanders Pierce
Pierce lahir di USA (1839-1941). Sebagai ahli
semiotika, logika, dan matematika, Pierce sezaman dengan Saussure. Oleh karena
itulah, mereka dimasukkan ke dalam kelompok strukturalis. Meskipun demikian
Pierce melangkah lebih jauh, pertama, latar belakangnya sebagai ahli filsafat, yang
memungkinkannya untuk melihat dunia di luar struktur, sebagai struktur
bermakna. Kedua, berbeda dengan
Saussure dengan konsep diadik yang cenderung untuk melihat objek atas dasar
objek lain, sehingga terjadi pemahaman pusat dan nonpusat, Pierce menawarkan
konsep triadik sehingga terjadi jeda antara oposisi biner di atas. Istilah semiotika
itu pun berasal dari Pierce, sedangkan Saussure sendiri menggunakan istilah
semiologi. Pierce jugalah yang kemudian mengembangkan teori umum tanda-tanda,
sebaliknya Saussure lebih banyak terlibat dalam teori linguistik umum. Menurut
Pierce, semiotika adalah studi tentang tanda dengan mempertimbangkan berbagai
aspek yang berkaitan dengannya, seperti: fungsi-fungsinya, hubungannya dengan
tanda-tanda yang lain, proses pengiriman dan penerimaannya, dan sebagainya.
Mengingat luasnya studi ini, maka semiotika dibedakan menjadi tiga objek :
sintaksis, semantik dan pragmatik. Sintaksis berkaitan dengan tanda-tanda yang
lain. semantik berkaitan dengan acuan dan interpretasi yang dihasilkan.
Pragmatik berkaitan dengan tanda dalam hubungannya dengan pengirim dan penerimanya.
Pada dasarnya Pierce, tidak banyak mempermasalahkan
estetika dalam tulisan-tulisannya. Meskipun demikian, teori-torinya mengenai
tanda mendasari pembicaraan estetika generasi berikutnya. Menurut Pierce, makna
tanda yang sesungguhnya adalah mengemukakan sesuatu. Dengan kata lain, tanda
mengacu kepada sesuatu. Tanda harus diinterpretasikan sehingga dari tanda yang orisinal
akan berkembang tanda-tanda yang baru. Tanda selalu terikat dengan sistem
budaya (Zoest, 1993:46, 51), tanda-tanda bersifat konvensional, dipahami
menurut perjanjian, tidak ada tanda-tanda yang bebas konteks. Tanda selalu
bersifat plural, tanda-tanda hanya berfungsi hanya kaitannya dalam kaitannya
dengan tanda yang lain. tanda merah dalam lalu lintas, selain dinyatakan melalui
warna merah, juga ditempatkan pada posisi paling tinggi, dua tanda tampil
secara bersamaan, sebagai denotatum
dan intrepretant. Dalam pengertian
Pierce (Noth, 1990:423) fungsi refresial didefenisikan melalui triadik ikon,
indeks, dan simbol. Tetapi interpretasi holistik harus juga mempertimbangkan
tanda sebagai perwujudan gejala umum, sebagai representamen (qualisign, sisign,
dan lesisign).dan tanda-tanda baru yang terbentuk dalam batin penerima, sebagai
interpretant (rheme, dicent, dan argument) dengan kalimat lain, diantara objek,
representamen, dan interpretan, yang paling sering dibicarakan adalah objek
(ikon, indeks dan simbol).
Menurut Zoest (1993:85-86), diantara ikon, indeks,
dan simbol, yang terpenting adalah ikon sebab di satu pihak, segala sesuatu
merupakan ikon sebab segala sesuatu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain.
dipihak lain, sebagai tanda agar dapat mengacu pada sesuatu yang lain di luar
dirinya, agar ada hubungan yang representatif, maka syarat yang diperlukan
adalah adanya unsur kemiripan. Teks sastra, termasuk sosial, politik, iklan dan
sebagainya kaya dengan tanda ikon. Pada dasarnya, baik ikon maupun indeks dan
simbol yang murni tidak pernah ada. Artinya, ikonisitas selalu melibatkan
indeksikalitas dan simbolisasi. Ikon ditandai oleh adanya kemiripan, indeks
ditandai dengan adanya kedekattan eksistentsi dan hubungn sebab akibat
sedangkan simbol ditandai oleh adanya kesepakatan, perjanjian, dan hubungan
yang terbentuk secara konvensional. Contoh ikon adalah peta geografis dan foto.
Nama orang, baik nama diri maupun nama keluarga, termasuk gelar, demikian juga
statistik, diagram, dan model termasuk ikon. Contoh indeks adalah tanda
penunjuk arah, hubungan antara asap dengan api. Contoh simbol adalah anggukan
kepala dan tanda-tanda kebahasaan pada umumnya.
2. Roman
Osipocich Jakobson
Sama dengan Pierce, pikiran-pikiran Jakobson masih
sangat kental menampilkan model analisis strukturalisme, tetapi pikiran
tersebut dapat mengarahkan bagaimana bahasa sebagai sistem model pertama
berperan sekaligus berubah ke dalam taataran bahasa sebagai sistem model yang
kedua. Krtitk tajam yang kemudian dikemukakan oleh Riffaterre dan Pratt,
misalnya menunjukkan bahwa peranan pembaca tidak boleh dilupakan, sekaligus
merayakan lahirnya teori sastra dan estetika sastra postrukturalisme. Menurut
Riffaterre (1978: 1-2), makna sebuah puisi tidak ditentukan oleh linguis
melainkan oleh pembaca, dengan cara mempertentangkan antara arti (meaning) pada level mimetik dengan makna
(significance), sebagai penyimpangan
level mimetik itu sendiri. Lebih tegas, melalui pendekatan sosiolinguistik
melalu teori tindak kata, Pratt mengkritik Jakobson yang terlalu menonjolkan
fungsi puitika. Menurut Pratt (1977: xiii) tidak ada ragam bahasa yang khas.
Wacana sastra adalah pemakaian bahasa tertentu, bukan ragam bahasa tertentu.
Hubungan antara bahasa dengan sastra, ciri-ciri
khas bahasa dan sastra, ciri-ciri yang membedakan antara bahasa sastra dengan
bahasa nonsastra, telah banyak dibicarakan. Secara garis besar ada dua
pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa bahasa sastra berbeda
dengan bahasa biasa, bahasa sehari-hari. Kedua,
pendapat yang mengatakan bahwa bahasa sastra sama dengan bahasa sehari-hari.
Pendapat pertama bertolak dari kekhasan bahasa sastra sebagaimana terkandung
dalam puisi, sedangkan pendapat kedua bertolak dari bahasa prosa. Dalam sastra
kontemporer kelompok formalislah yang paling serius mencoba menemukan ciri-ciri
bahasa sastra tersebut, yang disebut sebagai literariness.
Jakobson adalah seorang linguis, ahli sastra,
semiotikus, lahir di Rusia (1896-1982). Ia juga pendiri Lingkaran Linguistik
Moskow (1915) dan Lingkaran Linguistik Praha (1962). Karya-karyanya didasarkan
atas linguistik Saussure, fenomenologi Husserl, dan perluasan teori semiotika
Pierce. Pusat perhatian Jakobson sesungguhnya adalah integrasi bahasa dan
sastra. Sesuai dengan judul salah satu tulisannya ‘Lingustik and Poetics’
(1987: 66, 71), Jakobson menaruh perhatian besar terhadap integrasi antara
bahasa dan sastra. Jakobson melukiskan antar hubungan tersebut, dengan
mensejajarkan enam faktor bahasa dan enam fungsi bahasa, yang disebutnya
sebagai Poetic function of language, sebagai
berikut :
Addresser
|
Context
Message
Contact
Code
|
Addressee
|
Enam fungsi bahasa, yaitu :
|
||
Emotive
|
Referential
Poetic
Phatic
Metalingual
|
Conative
|
Bersama dengan
Levi-Strauss (Teeuw, 1988: 77-81), model fungsi puitika di atas diterapkannya
dalam analisis puisi Charles Baudelaire yang berjudu ‘Les Chats’. Analisis
dilakukan dengan cara memanfaatkan prinsip-prinsip ekuivalensi, seperti
ekuivalensi bunyi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
3. Roland Barthes
3. Roland Barthes
Barthes adalah seorang ahli
semiotika, kritikus sastra, khususnya naratologi. Barthes lahir di Cherbourg,
Prancis (1915-1980). Dalam bidang semiotika, di samping Levi Strauss, Foucault,
dan Lacan, Barthes banyak memanfaatkan teori-teori struktural Saussurean.
Sebagai seorang semiotikus ia juga mengakui bahwa proses pemaknaan tidk
terbatas pada bahasa, melainkan harus diperluas meliputi seluruh bidang
kehidupan.
Kehidupannya yang tidak bahagia,
khususnya sebagai akibat penderitaan penyakit tbc menyebabkan gaya penulisannya
yang bercorak depersonalisasi. Diduga kondisi ini merupakan embrio pemikirannya
dalam menolak subjek penulis sebagaimana dikemukakan dalam salah satu bab yang
berjudul ‘The Death of the Author’ (1977: 142-148). Topik ini pulalah yang
membawa popularitas Barthes sebagai salah seorang postrukturalis dalam menolak
otoritas subjek, yang kemudian dikenal sebagai narasi besar. Dengan kematian
pengarang tunggal ini maka akan lahirlah para pengarang jamak, para pengarang
yang terkandung di dalam karya itu sendiri, sebagai pengarang implisit. Para
pengarang inilah yang akan melahirkan instansi narator, subjek transindividual
yang akan melahirkan kekuatan marginal. Oleh karena itulah, menurut Selden
(1986: 75) kritik kematian pengarang dianggap sebagai esai terbaik dalam
kaitannya dengan lahirnya pascastrukturalisme.
Barthes dan dengan demikian para
pengikutnya menolak dengan keras pandangan tradisional yang menganggap bahwa
pengarang sebagai asal-usul tunggal karya seni. Jelas bahwa paradigma ini telah
dikemukakan oleh kelompok strukturalis, makna karya sastra terletak dalam
struktur dengan kualitas regulasinya. Tetapi melalui Barthes-lah karya sastra
memperoleh kekuatan baru, memperoleh kebebasan, khususnya dari segi penafsiran
pembaca. Klimaks pemikiran ini dikemukakan dalam tulisannya yang berjudul The Pleasure of The Text (1973), dengan
membedakan teks menjadi dua macam, yaitu: teks pleasure (plaisir) dan teks bliss
(jouissance). Dengan adanya kebebasan yang dimilikinya (cf. Zichy dalam
Makaryk, ed., 1993: 607-608), maka
pembaca akan merasakan kenikmatan (pleasure)
dan kebahagiaan (bliss), yang
seolah-olah mirip dengan kenikmtan seksual (orgasme). Meskipun demikian
kenikmatan dan kebahagiaan dalam membaca teks memilikia arti yang lebih luas,
dan dengan sendirinya lebih etis dan estetis. Teks pleasure menyajikan kesenangan berupa pengetahuan, kepercayaan, dan
harapan, sedangkan teks bliss justru
menyajikan semacam kehilangan, keputusasaan, dan kegelisahan. Teks pleasure merupakan milik kebudayaan
tertentu, sebaliknya teks bliss tidak
memiliki asumsi historis, kebudayaan, dan psikologis. Teks pleasure menyajikan kesesuaian hubungan antara pembaca dengan
medium yang relatif stabil, teks bliss
justru merupakan krisis.
Dikaitkan dengan masyarakat lama
(Barthes, 1977: 142-143), masyarakat etnografis, maka kondisi ini tidaklah jauh
berbeda. Dalam masyrakat lama kemampuan naratif tidak pernah diasumsikan
sebagai person tunggal, melainkan sebagai mediator, seperti tukang cerita, shaman, dan berbagai jenis penghubung
yang menampilkan cerita di hadapan audiens. Dalam masyarakat Barat pengarang
tunggal adalah pengertian yang dikondisikan sejak abad pertengahan, yang
kemudian disusul dengan lahirnya empirisme Inggris , rasionalisme Prancis, dan
kebangkitan subjek individual pada umumnya, yang kemudian mencapai klimaks abad
ke-18. Di Indonesia masalah ini mulai dikondisikan sejak lahirnya sastra
Indonesia modern, sastra Melayu Tionghoa, akhir abad ke-19.
Konsep lain yang perlu dikemukakan
adalah teks sebagai readerly (lisible)
dan writterly (rewritten/scriptable).
Teks tidak semata-mata untuk dibaca, tetapi juga untuk ditulis (kembali).
Dengan kalimat lain, tujuan karya sastra pada dasarnya adalah menjadikan
pembaca bukan semata-mata sebagai kosumen tetapi produsen teks. Dalam entitas readerly penulislah yang aktif,
sedangkan pembaca bersifat pasif. Sebaliknya, dalam entitas writterly, dengan anggapan bahwa penulis
berada dalam konstruksi anonimitas, maka pembacalah yang bersifat aktif,
melalui aktifitas menulis.
4. Umberto Eco
Eco
adalah seorang semiotikus, kritikus, novelis, dan jurnalis, lahir di Piedmont,
Italia (1932- ). Di samping itu ia
juga mendalami estetika dan filsafat abad pertengahan yang kemudian diterbitkan
daam bukunya yang berjudul Art and beauty
in the Middle Ages. Dua buah novelnya yang terkenal berjudul The Name of the Rose dan Foucault Pendulum. Sebagai ahli
semiotika ia menghasilkan dua buah buku yaitu A Theory of Semiotics (1976) dan Semiotics and the Philosophy of Language (1984). Menurut Lechte
(2001: 200-203) secara implisit Eco memperluas pengertian tanda sebagaimana
yang dikemukakan oleh Pierce, tanda dengan kaitannya dengan tanda-tanda yang
lain, menjadi tanda dalam kaitannya dengan pembaca. Berbeda dengan penulis,
jelas yang dimaksudkan adalah pembaca dalam pengertian tidak terbatas sebagai
semata-mata pembaca nyata.
4. Umberto Eco
Eco
adalah seorang semiotikus, kritikus, novelis, dan jurnalis, lahir di Piedmont,
Italia (1932- ). Di samping itu ia
juga mendalami estetika dan filsafat abad pertengahan yang kemudian diterbitkan
daam bukunya yang berjudul Art and beauty
in the Middle Ages. Dua buah novelnya yang terkenal berjudul The Name of the Rose dan Foucault Pendulum. Sebagai ahli
semiotika ia menghasilkan dua buah buku yaitu A Theory of Semiotics (1976) dan Semiotics and the Philosophy of Language (1984). Menurut Lechte
(2001: 200-203) secara implisit Eco memperluas pengertian tanda sebagaimana
yang dikemukakan oleh Pierce, tanda dengan kaitannya dengan tanda-tanda yang
lain, menjadi tanda dalam kaitannya dengan pembaca. Berbeda dengan penulis,
jelas yang dimaksudkan adalah pembaca dalam pengertian tidak terbatas sebagai
semata-mata pembaca nyata.
Secara
eksplisit A Theory of Semiotics mendeskripsikan teori semiotika
umum yang terdiri atas teori kode dan teori produksi tanda, sebagai perbedaan antara
kaidah dan proses atau antara potensi dan tindakan menurut Aristoteles. Salah
satu tema yang dikemukakan dalam Semiotics
and the Philosophy of language (1984: 57-86) adalah perbedaan antara struktur kamus dengan ensiklopedia.
Kamus dianggap sebagai pohon porphyrian
(model, definisi, terstruktur melalui genre,
spesies, dan pembaca) sebaliknya, ensiklopedia merupakan jaringan tanpa
pusat. Kamus bermakna tetapi cakupannya terbatas, atau cakupannya tak terbatas
tetapi tidak mampu memberikan makna tertentu. Ensiklopedia sejajar dengan
jaringan rhizomatic. Strukturnya
mirip dengan peta, bukan pohon yang tersusun secara hierarkhis.
Menurut
Eco (1979: 7) semiotika dikaitkan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan
tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang secara signifikan dapat
menggantikan sesuatu yang lain, sedangkan sesuatu yang lain itu tidak harus
eksis atau hadir secara aktual. Dalam hubungan inilah Eco menyebutkan semiotika
sebagai ilmu untuk mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong.
Sebaliknya dapat dikatakan apabila segala sesuatu tidak dapat digunakan untuk
berbohong, untuk berdusta, maka segala sesuatu itu bukanlah tanda. Berbohong
dengan sendirinya tidak dalam pengertian negatif sebagaimana yang dipahami
dalam kehidupan sehari-hari. Secara semiotis dalam berbohong timbul aktivitas
kreatif, tanda-tanda diproduksi, dari kaidah ke proses, dari potensi ke
tindakan, dari competence ke performance, sehingga kualitas estetis
dapat diproduksi semaksimal mungkin.
Sebagai
ilmu yang imperial, memiliki ruang lingkup hampir seluruh bidang kehidupan,
maka Eco membedakan semiotika menjadi 18 bidang, termasuk estetika. Menurut Eco
(1979: 182-183) semua bidang dapat dikenal sebagai kode sejauh mengungkapkan
fungsi estetik setiap unsurnya. Sama dengan Pierce, esensi tanda adalah kesanggupannya
dalam mewakili suatu tanda. Setiap kode memiliki konteks, sebagai konteks
sosiokultural. Oleh karena itulah, teori tanda harus mampu menjelaskan mengapa
sebuah tanda memiliki banyak makna, dan akhirnya bagaimana makna-makna baru
bisa terbentuk. Dalam hubungan inilah dibedakan dua unsur, pertama, unsur yang dapat disesuaikan atau diramalkan oleh kode,
seperti simbol dalam pengertian Pierce. Kedua,
adalah unsur yang tidak bisa disesuaikan dengan mudah, misalnya, ikon dalam
pengertian Pierce. Unsur pertama disebut rasio facilis, sedangkan unsur yang kedua disebut rasio defacilis. Oleh karena itu, menurut Eco,
proses pembentukan tanda harus dilakukan melalui sejumlah tahapan, yaitu: a)
kerja fisik, b) pengenalan, c) penampilan, d) replika, dan e) penemuan.
Sumber:
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yokyakarta: Pustaka Pelajar
Bisa dilengkapi dengan zaman sejarah linguistik lainnya :))
BalasHapus