Senin, 07 Mei 2012

TOKOH-TOKOH PERIODE POSTMODERNISME


1.  Charles Sanders Pierce

Pierce lahir di USA (1839-1941). Sebagai ahli semiotika, logika, dan matematika, Pierce sezaman dengan Saussure. Oleh karena itulah, mereka dimasukkan ke dalam kelompok strukturalis. Meskipun demikian Pierce melangkah lebih jauh, pertama, latar  belakangnya sebagai ahli filsafat, yang memungkinkannya untuk melihat dunia di luar struktur, sebagai struktur bermakna. Kedua, berbeda dengan Saussure dengan konsep diadik yang cenderung untuk melihat objek atas dasar objek lain, sehingga terjadi pemahaman pusat dan nonpusat, Pierce menawarkan konsep triadik sehingga terjadi jeda antara oposisi biner di atas. Istilah semiotika itu pun berasal dari Pierce, sedangkan Saussure sendiri menggunakan istilah semiologi. Pierce jugalah yang kemudian mengembangkan teori umum tanda-tanda, sebaliknya Saussure lebih banyak terlibat dalam teori linguistik umum. Menurut Pierce, semiotika adalah studi tentang tanda dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengannya, seperti: fungsi-fungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda yang lain, proses pengiriman dan penerimaannya, dan sebagainya. Mengingat luasnya studi ini, maka semiotika dibedakan menjadi tiga objek : sintaksis, semantik dan pragmatik. Sintaksis berkaitan dengan tanda-tanda yang lain. semantik berkaitan dengan acuan dan interpretasi yang dihasilkan. Pragmatik berkaitan dengan tanda dalam hubungannya dengan pengirim dan penerimanya.
Pada dasarnya Pierce, tidak banyak mempermasalahkan estetika dalam tulisan-tulisannya. Meskipun demikian, teori-torinya mengenai tanda mendasari pembicaraan estetika generasi berikutnya. Menurut Pierce, makna tanda yang sesungguhnya adalah mengemukakan sesuatu. Dengan kata lain, tanda mengacu kepada sesuatu. Tanda harus diinterpretasikan sehingga dari tanda yang orisinal akan berkembang tanda-tanda yang baru. Tanda selalu terikat dengan sistem budaya (Zoest, 1993:46, 51), tanda-tanda bersifat konvensional, dipahami menurut perjanjian, tidak ada tanda-tanda yang bebas konteks. Tanda selalu bersifat plural, tanda-tanda hanya berfungsi hanya kaitannya dalam kaitannya dengan tanda yang lain. tanda merah dalam lalu lintas, selain dinyatakan melalui warna merah, juga ditempatkan pada posisi paling tinggi, dua tanda tampil secara bersamaan, sebagai denotatum dan intrepretant. Dalam pengertian Pierce (Noth, 1990:423) fungsi refresial didefenisikan melalui triadik ikon, indeks, dan simbol. Tetapi interpretasi holistik harus juga mempertimbangkan tanda sebagai perwujudan gejala umum, sebagai representamen (qualisign, sisign, dan lesisign).dan tanda-tanda baru yang terbentuk dalam batin penerima, sebagai interpretant (rheme, dicent, dan argument) dengan kalimat lain, diantara objek, representamen, dan interpretan, yang paling sering dibicarakan adalah objek (ikon, indeks dan simbol).
Menurut Zoest (1993:85-86), diantara ikon, indeks, dan simbol, yang terpenting adalah ikon sebab di satu pihak, segala sesuatu merupakan ikon sebab segala sesuatu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain. dipihak lain, sebagai tanda agar dapat mengacu pada sesuatu yang lain di luar dirinya, agar ada hubungan yang representatif, maka syarat yang diperlukan adalah adanya unsur kemiripan. Teks sastra, termasuk sosial, politik, iklan dan sebagainya kaya dengan tanda ikon. Pada dasarnya, baik ikon maupun indeks dan simbol yang murni tidak pernah ada. Artinya, ikonisitas selalu melibatkan indeksikalitas dan simbolisasi. Ikon ditandai oleh adanya kemiripan, indeks ditandai dengan adanya kedekattan eksistentsi dan hubungn sebab akibat sedangkan simbol ditandai oleh adanya kesepakatan, perjanjian, dan hubungan yang terbentuk secara konvensional. Contoh ikon adalah peta geografis dan foto. Nama orang, baik nama diri maupun nama keluarga, termasuk gelar, demikian juga statistik, diagram, dan model termasuk ikon. Contoh indeks adalah tanda penunjuk arah, hubungan antara asap dengan api. Contoh simbol adalah anggukan kepala dan tanda-tanda kebahasaan pada umumnya.


  
2.  Roman Osipocich Jakobson

Sama dengan Pierce, pikiran-pikiran Jakobson masih sangat kental menampilkan model analisis strukturalisme, tetapi pikiran tersebut dapat mengarahkan bagaimana bahasa sebagai sistem model pertama berperan sekaligus berubah ke dalam taataran bahasa sebagai sistem model yang kedua. Krtitk tajam yang kemudian dikemukakan oleh Riffaterre dan Pratt, misalnya menunjukkan bahwa peranan pembaca tidak boleh dilupakan, sekaligus merayakan lahirnya teori sastra dan estetika sastra postrukturalisme. Menurut Riffaterre (1978: 1-2), makna sebuah puisi tidak ditentukan oleh linguis melainkan oleh pembaca, dengan cara mempertentangkan antara arti (meaning) pada level mimetik dengan makna (significance), sebagai penyimpangan level mimetik itu sendiri. Lebih tegas, melalui pendekatan sosiolinguistik melalu teori tindak kata, Pratt mengkritik Jakobson yang terlalu menonjolkan fungsi puitika. Menurut Pratt (1977: xiii) tidak ada ragam bahasa yang khas. Wacana sastra adalah pemakaian bahasa tertentu, bukan ragam bahasa tertentu.
Hubungan antara bahasa dengan sastra, ciri-ciri khas bahasa dan sastra, ciri-ciri yang membedakan antara bahasa sastra dengan bahasa nonsastra, telah banyak dibicarakan. Secara garis besar ada dua pendapat.  Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa biasa, bahasa sehari-hari. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa bahasa sastra sama dengan bahasa sehari-hari. Pendapat pertama bertolak dari kekhasan bahasa sastra sebagaimana terkandung dalam puisi, sedangkan pendapat kedua bertolak dari bahasa prosa. Dalam sastra kontemporer kelompok formalislah yang paling serius mencoba menemukan ciri-ciri bahasa sastra tersebut, yang disebut sebagai literariness.
Jakobson adalah seorang linguis, ahli sastra, semiotikus, lahir di Rusia (1896-1982). Ia juga pendiri Lingkaran Linguistik Moskow (1915) dan Lingkaran Linguistik Praha (1962). Karya-karyanya didasarkan atas linguistik Saussure, fenomenologi Husserl, dan perluasan teori semiotika Pierce. Pusat perhatian Jakobson sesungguhnya adalah integrasi bahasa dan sastra. Sesuai dengan judul salah satu tulisannya ‘Lingustik and Poetics’ (1987: 66, 71), Jakobson menaruh perhatian besar terhadap integrasi antara bahasa dan sastra. Jakobson melukiskan antar hubungan tersebut, dengan mensejajarkan enam faktor bahasa dan enam fungsi bahasa, yang disebutnya sebagai Poetic function of language, sebagai berikut :


Addresser


Context
Message
Contact
Code

Addressee

Enam fungsi bahasa, yaitu :

Emotive
 Referential
 Poetic
 Phatic
 Metalingual

Conative
 Bersama dengan Levi-Strauss (Teeuw, 1988: 77-81), model fungsi puitika di atas diterapkannya dalam analisis puisi Charles Baudelaire yang berjudu ‘Les Chats’. Analisis dilakukan dengan cara memanfaatkan prinsip-prinsip ekuivalensi, seperti ekuivalensi bunyi, morfologi, sintaksis, dan semantik.




3. Roland Barthes

Barthes adalah seorang ahli semiotika, kritikus sastra, khususnya naratologi. Barthes lahir di Cherbourg, Prancis (1915-1980). Dalam bidang semiotika, di samping Levi Strauss, Foucault, dan Lacan, Barthes banyak memanfaatkan teori-teori struktural Saussurean. Sebagai seorang semiotikus ia juga mengakui bahwa proses pemaknaan tidk terbatas pada bahasa, melainkan harus diperluas meliputi seluruh bidang kehidupan.
Kehidupannya yang tidak bahagia, khususnya sebagai akibat penderitaan penyakit tbc menyebabkan gaya penulisannya yang bercorak depersonalisasi. Diduga kondisi ini merupakan embrio pemikirannya dalam menolak subjek penulis sebagaimana dikemukakan dalam salah satu bab yang berjudul ‘The Death of the Author’ (1977: 142-148). Topik ini pulalah yang membawa popularitas Barthes sebagai salah seorang postrukturalis dalam menolak otoritas subjek, yang kemudian dikenal sebagai narasi besar. Dengan kematian pengarang tunggal ini maka akan lahirlah para pengarang jamak, para pengarang yang terkandung di dalam karya itu sendiri, sebagai pengarang implisit. Para pengarang inilah yang akan melahirkan instansi narator, subjek transindividual yang akan melahirkan kekuatan marginal. Oleh karena itulah, menurut Selden (1986: 75) kritik kematian pengarang dianggap sebagai esai terbaik dalam kaitannya dengan lahirnya pascastrukturalisme.
Barthes dan dengan demikian para pengikutnya menolak dengan keras pandangan tradisional yang menganggap bahwa pengarang sebagai asal-usul tunggal karya seni. Jelas bahwa paradigma ini telah dikemukakan oleh kelompok strukturalis, makna karya sastra terletak dalam struktur dengan kualitas regulasinya. Tetapi melalui Barthes-lah karya sastra memperoleh kekuatan baru, memperoleh kebebasan, khususnya dari segi penafsiran pembaca. Klimaks pemikiran ini dikemukakan dalam tulisannya yang berjudul The Pleasure of The Text (1973), dengan membedakan teks menjadi dua macam, yaitu: teks pleasure (plaisir) dan teks bliss (jouissance). Dengan adanya kebebasan yang dimilikinya (cf. Zichy dalam Makaryk, ed., 1993: 607-608), maka pembaca akan merasakan kenikmatan (pleasure) dan kebahagiaan (bliss), yang seolah-olah mirip dengan kenikmtan seksual (orgasme). Meskipun demikian kenikmatan dan kebahagiaan dalam membaca teks memilikia arti yang lebih luas, dan dengan sendirinya lebih etis dan estetis. Teks pleasure menyajikan kesenangan berupa pengetahuan, kepercayaan, dan harapan, sedangkan teks bliss justru menyajikan semacam kehilangan, keputusasaan, dan kegelisahan. Teks pleasure merupakan milik kebudayaan tertentu, sebaliknya teks bliss tidak memiliki asumsi historis, kebudayaan, dan psikologis. Teks pleasure menyajikan kesesuaian hubungan antara pembaca dengan medium yang relatif stabil, teks bliss justru merupakan krisis.
Dikaitkan dengan masyarakat lama (Barthes, 1977: 142-143), masyarakat etnografis, maka kondisi ini tidaklah jauh berbeda. Dalam masyrakat lama kemampuan naratif tidak pernah diasumsikan sebagai person tunggal, melainkan sebagai mediator, seperti tukang cerita, shaman, dan berbagai jenis penghubung yang menampilkan cerita di hadapan audiens. Dalam masyarakat Barat pengarang tunggal adalah pengertian yang dikondisikan sejak abad pertengahan, yang kemudian disusul dengan lahirnya empirisme Inggris , rasionalisme Prancis, dan kebangkitan subjek individual pada umumnya, yang kemudian mencapai klimaks abad ke-18. Di Indonesia masalah ini mulai dikondisikan sejak lahirnya sastra Indonesia modern, sastra Melayu Tionghoa, akhir abad ke-19.
Konsep lain yang perlu dikemukakan adalah teks sebagai readerly (lisible) dan writterly (rewritten/scriptable). Teks tidak semata-mata untuk dibaca, tetapi juga untuk ditulis (kembali). Dengan kalimat lain, tujuan karya sastra pada dasarnya adalah menjadikan pembaca bukan semata-mata sebagai kosumen tetapi produsen teks. Dalam entitas readerly penulislah yang aktif, sedangkan pembaca bersifat pasif. Sebaliknya, dalam entitas writterly, dengan anggapan bahwa penulis berada dalam konstruksi anonimitas, maka pembacalah yang bersifat aktif, melalui aktifitas menulis. 


 4.   Umberto Eco

Eco adalah seorang semiotikus, kritikus, novelis, dan jurnalis, lahir di Piedmont, Italia (1932-  ). Di samping itu ia juga mendalami estetika dan filsafat abad pertengahan yang kemudian diterbitkan daam bukunya yang berjudul Art and beauty in the Middle Ages. Dua buah novelnya yang terkenal berjudul The Name of the Rose dan Foucault Pendulum. Sebagai ahli semiotika ia menghasilkan dua buah buku yaitu A Theory of Semiotics (1976) dan Semiotics and the Philosophy of Language (1984). Menurut Lechte (2001: 200-203) secara implisit Eco memperluas pengertian tanda sebagaimana yang dikemukakan oleh Pierce, tanda dengan kaitannya dengan tanda-tanda yang lain, menjadi tanda dalam kaitannya dengan pembaca. Berbeda dengan penulis, jelas yang dimaksudkan adalah pembaca dalam pengertian tidak terbatas sebagai semata-mata pembaca nyata.
Secara eksplisit A Theory of  Semiotics mendeskripsikan teori semiotika umum yang terdiri atas teori kode dan teori produksi tanda, sebagai perbedaan antara kaidah dan proses atau antara potensi dan tindakan menurut Aristoteles. Salah satu tema yang dikemukakan dalam Semiotics and the Philosophy of language (1984: 57-86) adalah perbedaan  antara struktur kamus dengan ensiklopedia. Kamus dianggap sebagai pohon porphyrian (model, definisi, terstruktur melalui genre, spesies, dan pembaca) sebaliknya, ensiklopedia merupakan jaringan tanpa pusat. Kamus bermakna tetapi cakupannya terbatas, atau cakupannya tak terbatas tetapi tidak mampu memberikan makna tertentu. Ensiklopedia sejajar dengan jaringan rhizomatic. Strukturnya mirip dengan peta, bukan pohon yang tersusun secara hierarkhis.
Menurut Eco (1979: 7) semiotika dikaitkan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang secara signifikan dapat menggantikan sesuatu yang lain, sedangkan sesuatu yang lain itu tidak harus eksis atau hadir secara aktual. Dalam hubungan inilah Eco menyebutkan semiotika sebagai ilmu untuk mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong. Sebaliknya dapat dikatakan apabila segala sesuatu tidak dapat digunakan untuk berbohong, untuk berdusta, maka segala sesuatu itu bukanlah tanda. Berbohong dengan sendirinya tidak dalam pengertian negatif sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari. Secara semiotis dalam berbohong timbul aktivitas kreatif, tanda-tanda diproduksi, dari kaidah ke proses, dari potensi ke tindakan, dari competence ke performance, sehingga kualitas estetis dapat diproduksi semaksimal mungkin.
Sebagai ilmu yang imperial, memiliki ruang lingkup hampir seluruh bidang kehidupan, maka Eco membedakan semiotika menjadi 18 bidang, termasuk estetika. Menurut Eco (1979: 182-183) semua bidang dapat dikenal sebagai kode sejauh mengungkapkan fungsi estetik setiap unsurnya. Sama dengan Pierce, esensi tanda adalah kesanggupannya dalam mewakili suatu tanda. Setiap kode memiliki konteks, sebagai konteks sosiokultural. Oleh karena itulah, teori tanda harus mampu menjelaskan mengapa sebuah tanda memiliki banyak makna, dan akhirnya bagaimana makna-makna baru bisa terbentuk. Dalam hubungan inilah dibedakan dua unsur, pertama, unsur yang dapat disesuaikan atau diramalkan oleh kode, seperti simbol dalam pengertian Pierce. Kedua, adalah unsur yang tidak bisa disesuaikan dengan mudah, misalnya, ikon dalam pengertian Pierce. Unsur pertama disebut rasio facilis, sedangkan unsur yang kedua disebut rasio defacilis. Oleh karena itu, menurut Eco, proses pembentukan tanda harus dilakukan melalui sejumlah tahapan, yaitu: a) kerja fisik, b) pengenalan, c) penampilan, d) replika, dan e) penemuan.    






Sumber: 
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yokyakarta: Pustaka Pelajar

Utopia

Dialah pagi dari ruh pemahat mimpi yang terjaga
Dialah siang dari tulang pendaki awang-awang
Dialah senja dari kulit penempa kesunyian membaja
Dialah malam dari tubuh penulis kerinduan di pasir berombak